Nim :A1D118089
Kelas/semester :R004/3
Email :pebribellasidauruk17@gmail.com
KECEROBOHAN KU
Oleh:Pebribella
Sidauruk
Tokoh :1.
Bella
2. Lamsa
3. Okta
4. Pak Sitanggang
Perwatakan :1.
Bella : baik, ceroboh, pemaaf
2. Lamsa : tomboy, baik
3. Okta : manja, baik
4. Pak Sitanggang : tidak mau tahu, keras
Alur :maju
Latar :-latar
tempat : rumah, jalan, sekolah, kantor guru
-latar suasana : mengharukan, menyedihkan
Amanat :-jadilah
teman yang selalu setia saat teman dalam keadaan yang terpuruk
-jadilah jujur tentang kecerobohanmu tanpa
menakutkan hal hal yang belum terjadi
Sudut Pandang :-sudut
pandang orang pertama : aku, kami
-sudut padang orang ketiga : dia, nama tokoh
Namaku
Bella, sekarang aku sudah kelas III SD. Sekolahku itu bukan sekolah terbaik
saat ini, tapi aku suka disana karena selain lebih dekat dari rumah juga karena
teman sepermainanku sekolah disini juga. Perkenalkan nama teman ku Lamsa dan
Okta. Mereka merupakan kawan seperjuangan aku, kami bertumbuh dan besar
bersama. Aku dan Lamsa lahir dari keluarga biasa lain dengan Okta dia anak dari
kepala desa di tempat kami. Hal itu membuatnya dia agak mempunyai sifat sombong
dan juga manja. Tapi, itu bukan masalah selagi kami masih nyaman dengan
pertemanan kami hal itu bukannya lah masalah besar buat kami.
“Bella udah pakai bajunya?”
“Udah kok Ma”
“Cepat sarapan, nanti terlambat ke sekolahnya”
“iya, ini udah datang”
Aku
pun sarapan pagi. Kebiasaan aku saat sarapan adalah aku tidak bisa makan banyak
banyak pas pagi, takutnya malah sakit perut perut jadinya aku makan sedikit.
“Bellaaaaaaaaaa”, suara Lamsa dan Okta barenngan
“Yok sekolah”, ajak Lamsa
“iya sebentar”, kataku
Setelah menyimpan piring, aku pun pamit sama Mama.
“sekolah yah Ma”, pamitku
“iya hati hati dijalan, jangan main main di jalan
langsung kesekolah. Disekolah jangan berantam sama temannya”. Nasihat Mamaku
“iya, pergi yah”, kataku lagi.
Kami
pun berangkat sekolah jalan kaki, karena kami tidak mempunyai kendaraan dirumah
untuk di gunakan untuk mengantar kami ke sekolah. Sepanjang perjalanan kami
bercerita tentang hal hal yang menurut kami menarik. Kami tertawa bersama
kadang kami sambil berlari supaya kami bisa sampai lebih cepat di sekolah. Kami
berlari sambil berlomba, kami membuat start dan kami mulai menghitung sampai
tiga. Kami telah menentukan letak finishnya.
“ehhhh, kita lomba lari yokkk”, kata Lamsa. Dia
anaknya memang agak tomboy
“ayokkk siapa takut” tantang ku
“yokkkk, kita mulai dari sini nanti ujungnya di pohon
pinus dekat tanjakan yang panjang itu” kata Okta
“siap siap, berjajar rata biar kita mulai’ kataku
“satuuuuuu, duaaaa, tigaaaaaa” seru kami berbarengan
Kami pun mulai berlari sekuat yang kami bisa.
“ehhhh Lamsa curang, belum hitungan ketiga dia udah
lari duluan”, teriak Okta dari belakanga sambil ngos-ngosan
“mana ada, bilang aja kamu gak terima karena masih
jauh di belakang”, teriak lamsa karena tidak terima dia di tuduh curang
“nggak, pokoknya kamu itu curang”, ngotot Okta
“aku nggak curang kan Bell?”, tanya Lamsa
“ nggak tahu ahhh, urusan kalian lah situ. Aku nggak
ikut campur”, kataku karena tidak mau menjadi pihak yang akan disalahkan juga
nantinya
Akhirnya
Lamsa yang menang, aku urutan kedua dan Okta yang terkahir. Mukanya cemberut
karena dia ngotot bahwa lamsa curang. Tak terasa kami sudah sampai di sekolah.
Karena
ini adalah awal semester ganjil jadi kami memasuki kelas baru kami dan sibuk
memilih bangku dan juga siapa teman sebangku kami. Aku sebangku sama lamsa di
urutan nomor dua dari depan dan dekat ke dinding. Sedangkan Okta dia sebangku
sama Asri, nomor tiga dari depan dan berjarak satu baris bangku dari kami
berdua.
Bel
berbunyi menandakan kami harus berbaris dan mengikuti upacara bendera. Kami
semua bersiap ke lapangan upacara tak lupa kami memakai topi dan memeriksa
perlengkapan lainnya karena kami tidak mau kena razia saat upacara berlangsung.
Hampir
satu jam kami upacara, pembina upacaranya sangat lama saat berpidato dan itu
membuat kami semua kelelahan saat berdiri dan juga kepanasan.
Kami
pun akhirnya masuk ke dalam kelas dan menunggu siapakah yang menjadi wali kelas
kami nantinya.
“selamat pagi anak anak”, sapa wali kelas kami.
Ternyata wali kelas kami adalah Pak Sitanggang.
“pagi pakkkkkkkkk”, sapa kami kembali.
“bapak ada;ah wali kelas kalian. Bapak akan menjadi
orang tua kalian di sekolah ini dan juga bapak yang akan membimbing kalian di
sekolah. Jika kalian ada yang bermasalah dengan guru lainnya nantinya, maka
guru itu akan melapor ke bapak jadi jangan buat masalah yah”, kata pak
Sitanggang
“iya pak”, kata kami berbarengan
“jadi karena kita di awal semester kita akan memilih
ketua kelas, wakil ketua kelas, sekretaris, dan juga bendahara”. Perintah pak
Sitanggang
“jadi siapa yang mau yang mau mencalonkan diri?”,
lanjut pak Sitanggang
“Andri pak”
“Lamsa pak”
“Menson pak”
“Rudi pak”
Seketika
kelas menjadi ribut sambil mengatakan nama nama siapa yang akan menjadi
pengurus di kelas.
“semua diam. Kok jadi ribut?. Jadi disini siapa yang
mau menjadi pengurus kelas?”
Semua hening dan tidak ada yang mau tunjuk tangan
“kok gak ada? Atau bapak pilih saja siapa yang akan
menjadi pengurus kelas?”
“setuju pak”, kompak kami
“baik bapak akan memilih. Disini siapa yang sudah yang
sudah pernah menjadi pengurus kelas?”, tanya pak Sitanggang
Semua diam dan tidak ada yang tidak tunjuk tangan
“baik bapak yang akan memilih, yang jadi ketua kelas
Andri. Mau kan jadi ketua kelas?”
“ mau pak”, jawab Andri dengan ragu ragu
“oke karena andri yang sudah mau jadi ketua kelas.
Yang jadi wakilnya rudi. Mau kan?”
“mau pak”, kata Rudi
“yang jadi sekretaris Lamsa dan yang jadi bendahara
Bella. Gimana mau kan?”
“iya pak”, jawan Lamsa
“tapi pak, kenapa harus saya?”, tanya ku
“udah lah Bell terima aja. Kan aku udah jadi
sekretaris, kamu yang jadi bendaharanya biar kita sama sama jadi oengurus
kelas. Kan aku ada kawan ku”, kata Lamsa meyakinkan
Jujur
aku ragu jadi bendahara kelas. Itu karena tanggung jawabnya yang besar, yaitu
mengolah keuangan kelas dan aku rasa aku belum cukup bisa untuk melakukan itu
“gimana mau kan?”, tanya pak guru sekali lagi
“mau pak”, balasku dengan sangat ragu ragu
“bagus kalo gitu, uang kas kita maunya berapa
perbulannya anak anak?”, tanya pak guru
“seribu”
“seribu lima ratus”
“lima ratus”
“dua ribu”
Anak anak kembali ribut
“semuanya diam. Gimana kalo dua ribu perbulannya? Kan
itu tidak terlalu berat jugakan? Setuju gak”, final pak guru
“setuju kalo aku pak”, kompak kami
“baik uang kas
kita dua ribu perbulannya dan di kumpul sama Bella. Jangan ada yang menunggak.
Kalo ada yang menunggak nanti bapak hukum
“iya pak”, sahut kami
Bunyi
bel istirahat pun berbunyi. Pak guru sudah keluar dan kami berhamburan keluar
dan langsung menuju kantin sekolah. Kami berebutan siapa yang akan dapat
duluan, karena sudah tidak tahan lagi karena memang kami sudah lapar.
Sehabis
dari kantin, kami duduk duduk di teras kelas. Dan ternyata kami hari itu tidak
belajar lagi. Karena baru hari pertama masuk, biasanya kami memang malas untuk
belajar. Karena kami masih terbawa suasana liburan.
Hari hari
pun berlalu dengan cepat dan aku melakukan kewajibanku yaitu mengumpulkan uang
kas perbulannya. Semua terlihat normal saat mengumpulkan uang kas kepadaku dan
aku terlihat normal saat aku mengih uang kas kepada teman kelas.
Tapi
mereka tidak tau jika uang kas yang selalu aku kumpulkan telah hilang. Aku
bingung, takut, gelisah, dan pusing. Entah siapa yang telah mengambil uang kas
dari task u. Semuanya hilang tanpa ada yang tersisa. Setiap aku mengumpulkan
uang kas dan hari itu juga hilang. Aku takut. Aku takut mengatakan pada siapa
pun, pada wali kelas, pada teman, pada orang tua. Aku takut banget.
Hari ini aku mencoba mengatakan hal ini kepada kedua
temanku.
“ehhh aku mau ngomong sesuatu tapi jangan bilang siapa
siapa yah”, pintaku
“iya bilang aja”, kata mereka berdua
“tau gak, kalo uang kas kita itu hilang. Aku gak tau
siapa yang ambil. Setiap ada yang ngasih atau aku yang nagih pasti hari itu
juga hilang. Aku takut banget jika pak Sitanggang tau jika duitnya itu hilang”,
jujurku
“kok bisa hilang?”, tanya Lamsa
“nggak tau. Aku bingung”, jujurku
“yah kami gak tau lah, itu urusan mu. Kami gak tau lah
hal itu”, kata Okta
“betul tuh”, tambah Lamsa
Jujur
aku merasa tambah tertekan. Aku bercerita dengan kedua temanku untuk
mendapatkan sekedar kata kata penghiburan yang bisa membuatku supaya tidak
takut lagi. Tapi mereka membuatku menjadi merasa lebih buruk lagi.
Ini
yang aku takutkan dari awal. Aku memang belum pantas menanggung beban sebesar
itu. Aku memang belum pantas menjadi bendahara kelas. Aku semakin terpuruk lagi
saat wali kelas menanyakan tentang uang itu besoknya.
Besoknya
saat pak Sitanggang masuk dan memulai pe;jaran seperti biasanya. Semua berjalan
normal. Kami belajar seperti biasanya. Dan aku sudah tidak terlalu menakutkan
soal uang kas yang akan ditanyakan kepadaku. Tapi semua itu pupus saat 30 menit
sebelum jam mata pelajaran habis pak sitanggang mulai menanyakannya
“anak anak kita kan sebulan lagi udah mau ujian akhir
semester. Semua akan sibuk. Diharapkan kepada semuanya dan terutama pengurus
kelas untuk mempertanggung jawabkan jabatannya”. Kata pak sitanggang
Seketika muka ku pucat. Aku sudah sangat ketakutan
“gimana uang kas kita Bell? Aman kan?”, lanjut pak
Sitanggang
Aku ragu mau menjawab tapi aku memutuskan untuk jujur
“uang kas kita hilang pak. Gak tau siapa yang ambil
dari tas ku”, jujurku
“yah kalo hilang ganti lah. Berapa semuanya? Coba sini
bukunya”, kata pak Sitanggang
Aku pun maju memberikan buku kas kepada pak guru
“kalo dihitung hitung jumlah keseluruhan uang kas kita
ada Rp 62.000. betul kan Bella?”, tanya pak guru
“iya pak”, jawabku dengan penuh tekanan dalam diriku
“bagus. Jangan lupa mengganti uang kas yang hilang
itu”, perintah pak guru
Aku hanya sanggup mengangguk patuh
Jujur
selama ini aku sudah menabung seluruh uang jajan ku yang diberikan kepadaku.
Tapi itu tidak cukup. Uang jajanku hanya Rp 1000 perhari nya dan aku hanya bisa
mengumpulkan uang Rp 1000 perharinya juga. Dan uang yang sampai saat ini bisa
ku kumpulkan hanya Rp 12.000 dan aku masih kekurangan Rp 50.000. aku bingung.
Aku takut. Bahkan aku belum mengatakannya kepada kedua orang tuaku. Aku terlalu
takut buat jujur. Bakan aku gak punya teman untuk sekedar teman curhat tentang
kekalutan ku.
Tiba tiba Lamsa meanggilku
“Bell jajan yok”, ajaknya
“duluan lah. Aku gak jajan”, kataku
“oh iya kau kan sedang menabung buat mengganti uang
kas kan?”, tanya nya
“iya”, kataku dengan sangat berat
Aku
semakin merasa tertekan dari hari ke hari. Uang tabunganku belum juga cukup
membayar semuanya. Sedangkan pak Sitanggang sudah hampir setiap hari menanyaka
soal uang kas. Baik secara langsung kepadaku maupun melalui teman teman sekelas
ku lainnya.
Aku
semakin kalut. Pasalnya waktu yang diberikan kepadaku tinggal seminggu lagi.
Aku semakin takut. Bahkan saat dirumah pun aku sering melamun. Sering terlihat
gelisah. Setiap pagi saat mau berangkat sekolah aku takut, aku takut akan
ditagih tentang uang kas lagi. Aku bingung alas an apa lagi yang akan aku
ucapkan kepada pak guru untuk mengundur waktunya.
Hari
ini, aku merasa tidak enak badan. Sehingga aku ijin kesekolah da mengatakan
kepada orang tuaku bahwa aku sakit dan tidak bisa sekolah. Sebenarnya aku gak
terlalu demam, jika untuk sekolah aku rasa masih bisa. Tapi, karena ketakutanku
di sekolah akhirnya aku ijin dan bilang aku emang sakit sama orang tuaku.
Kebetulan
juga hari ini, Mama ku akan pergi ke pekanbaru untuk jualan. Dan emang
pekerjaan Mama itu adalah berjualan ke pekanbaru dan pulang sekali sebulan
hanya semeinggu di rumah.
“Tet, Mama pergi yah. Jangan lupa minum obat biar
cepat sembuh dan bisa sekolah lagi”, pesan Mamaku (dirumah semua orang
memanggilku Butet, kecuali teman teman ku)
Jujur
mendengar kata sekolah membuat ku ketakutan lagi. Tentang uang kas yang hari
ini belum bisa kubayarkan lagi. Aku mengesampingkan rasa takut ku kepada Mama.
Aku mencoba jujur, meskipun akhirnya aku akan dimarahi aku rela. Karena memang
aku yang salah, tidak menjaga uang kas dengan baik malah dengan ceroboh
meninggalkannya di tas.
“Ma, sebenarnya aku menghilangkan uang kas kelas kami.
Aku menaruhnya di tas tapi hilang. Aku gak tau siapa yang mengambilnya dari
tas. Jadi aku disuruh mengganti uang kas kami itu semuanya. Aku sudah menabung
tapi tabungan ku masih Rp 12.000 padahal pak guru sudah hampir setiap menagih
uang itu”, jujurku takut takut.
Jujur
aku sudah pasrah sekali saat itu. Aku bahkan sudah tidak sanggup melihat wajah
kedua orang tuaku. Aku takut membuat oranng tuaku kecewa.
“oh ini yang membuat mu takut kesekolah”, tebak Mama
ku
Aku langsung melihat Mama ku. Dia tersenyum
menenangkan ku. Seketika aku merasa tenang
“emang berapa yang kamu hilangkan?”,tanya Mama ku lagi
“Rp 62.000 Ma, sedangkan tabunganku hanya Rp 12.000”,
jawabku sedih
“berarti kurang Rp 50.000 lagi kan?”, tanya Mama
Aku
hanya sanggup mengangguk. Ternyata prasangka buruk aku yang takut untuk
dimarahi dan takut mengecewakan tidak terjadi. Aku hanya bermain main dengan
pikiran negative aku.
“ini uangnya. Lain kali jangan ceroboh kalo megang
uang yah. Mama pergi dulu. Uangnya langsung kasih sama gurunya biar gak hilang
lagi”, ucap Mama ku
Mama
pun berangkat diantar bapak ke pelabuhan sementara aku di rumah. Aku senang
sekali karena masalah aku akhirnya bisa teratasi. Besoknya aku pergi ke sekolah
tanpa adanya rasa takut, rasa tertekan ataupun rasa yang aku rasakan dulu. Tak
lupa aku membawa uang pemberian Mama.
Sambil mengetok pintu,”permisi pak”, kataku
“iya masuk, ehh kamu ternyata Bell”, kata pak guru
“ada perlu apa?”, sambung pak guru
“saya udah bawa uang kas yang kemaren saya hilangin”,
ujarku
“oh udah ada yah. Mana uangnya?”, kata pak guru
Sambil menyerahkan uang,”ini pak”
“oh berarti udah lunas kan?”, tanya pak guru
Aku mengangguk sambil tersenyum
“ya udah silahkan balik ke ruangan kelas”, perintah
pak guru
“iya pak. Saya permisi”, pamitku
Aku
keluar dari kantor guru dengan perasaan yang lebih lega, tanpa rasa takut lagi,
tanpa tekanan lagi. Aku merasa bahwa kini aku sudah terbebas dari semua rasa
yang dulunya membelenngu ku.
Aku pun kembali ke kelas dengan gembira. Teman teman
ku pun bertanya
“darimana tadi Bell?”, tanya Lamsa
“dari kantor guru”, jawab ku
“ngapain”, lanjutnya kagi
“bayar uang kas yang kemaren aku hilangin itu”, jawab
ku lagi
“ohh udah lunas berart”, sambunya lagi
“iya”, jawabku sambil tersenyum
Bel
istirahat pun berbunyi. Kami semua sangat senang termasuk aku. Semua pergi ke
kantin untuk mengisi perut yang sudah mulai keroncongan. Aku juga pergi ke
kantin dengan perasaan yang sangat senang, “akhirnya setelah sekian lama bisa
ke kantin lagi” batin ku. Dalam hati aku bersyukur karena masalah yang selama
ini telah membebaniku telah selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar