Nim: A1D118110
Ruang:R004
Tugas:menulis
cerita anak
Tokoh dan Penokohan: Nun(tritagonis),
Adam (antagonis), Arin (pratagonis), bapak(protagonist),
emak(tritagonis)
Dosen pengampu: Drs.Maryono,S.Pd
Agung Rimba Kurniawan,S.Pd,M.Pd
Merah Putih
Dan Kisah Nya
"Nun..
bangun nak, lihat matahari sudah bangun. Masa Nun
kalah sama matahari?" Sayup-sayup aku mendengar suara lembut perempuan,
juga merasakan usapan lembut di bahu sebelah kananku. Dan ketika aku membuka
mata, ternyata itu adalah Emak perempuan terhebat yang aku kenal selama 7 tahun
aku hidup.
Namaku
Siti Mulkisyah, tapi nama panggilanku adalah Nun, memang sangat jauh dan tidak
nyambung sama sekali. 'Nun' adalah nama panggilan yang diberikan oleh
sahabatku. Omong-omong tentang dia, rasanya ada yang membuat aku malas beranjak
dari tempat tidur. "Enggak
mau sekolah, malas." Tampak kerutan di dahi Emak, lalu matanya memincing
dengan mengamati wajahku. Mungkin beliau sedang menyelidiki sesuatu dari mataku
yang biasanya selalu tidak bisa akting atau berpura-pura. Emak selalu
mengetahui kalau aku sedang berbohong."Yakin nggak mau sekolah? Katanya
hari ini ada pemberian dana bos dari pihak sekolah." Mendengar hal itu
tentu saja aku langsung bangkit dan aku kembali bersemangat, seakan tubuhku
sudah dicharger 100%. Dana bos adalah kesukaan semua anak-anak SD, karena kami
akan diberi buku 1 pcs, beserta
pensil, penghapus, dan penggerok
pensil. Aku berjalan keluar kamar dengan gembira dan menyandungkan lagu-lagu random
yang aku hapal.
*
* *
Di
sekolah, aku termasuk orang yang tidak mudah bergaul, maksudku aku hanya bisa
akrab dengan beberapa orang saja. Selebihnya hanya sekedar kenal, dan aku juga
kemana-mana selalu berdua dengan sahabatku, namanya Arin. Dia juga tetanggaku,
rumah kami bersebelahan, dia juga teman sebangkuku. Tapi
ada yang beda dari kami, dari sudut pandangku, dia dan aku jelas beda dari segi
material. Keluarganya cukup mumpuni, dia tidak akan merasakan makan hanya
dengan sambal ikan teri dan kerupuk keplang saja, sementara aku nyaris tiap
hari menikmatinya. Ayahku seorang pedagang buah keliling, sementara Emak
bekerja upah mingguan di lahan sawit desa tetangga. Aku mempunyai dua saudara,
abangku yang masih duduk di bangku SMA begitu pula dengan kakak perempuanku. Ada
hal yang membuatku iri pada Arin, dia ketika pulang sekolah selalu disambut
dengan baik, makan bersama kedua kakaknya yang sudah menyelesaikan pendidkan,
sementara aku, aku harus bisa mandiri untuk makan sendirian sambil menikmati
tontonan Kuasa Ilahi yang televisinya penuh titik-titik putih.
"Nun,
Arin baru beli kertas binder baru. Gambar Spongebob, bagus kan?" Mataku
berbinar melihat kertas itu, disana jelas tergambar kartun favoriteku. Aku
hanya bisa mengangguk dan tersenyum, padahal ada rasa ingin memiliki juga.
"Ahahaha cie Nun pengen ahahaha." Aku menoleh ke bangku belakang,
disana ada anak laki-laki yang sejak pertama masuk kelas sudah aku cap sebagai
musuh. Dia sangat suka mengusili, terutama mulutnya itu, suka sekali berkata
buruk dan menghina. "Wak
Ajis mana bisa beliin itu, cie Nun pengen." Aku langsung berdiri dari
tempat, kalau sudah bawa-bawa nama orang tua rasanya tidak ada toleransi.
Langsung saja aku gebrak mejanya, biar terlihat kut padahal aslinya tanganku
sakit setelah memukul keras
meja itu.
"Oy
Ali Topo! Nun nggak pengen ya, Nun mampu kok buat beli itu. Dasar gendut!"
"Dasar
cungkring, ih badannya nggak ada daging, sup tulang Nun pasti enak."
balasnya dengan volume suara yang sangat kuat hingga seisi kelas memperhatikan
kami. "Adam nggak boleh
gitu sama Nun, kan tiap orang punya porsi tubuh beda-beda. Kayak Adam yang
gendut, sementara Nun kurus. Kalian sama aja kan?" Meskipun terkadang aku iri dengan Arin dan kehidupan
mewahnya yang bagiku hanya sekedar imajinasiku, dia adalah orang
yang bisa melindungi. Dengan berkata demikian
tentu saja Adam si gendut itu akan terdiam. Lalu
wali kelas kami masuk dan pelajaran hari ini dimulai. Tidak terasa sudah jam 11
siang, itu artinya jam pulang sekolah. Sebelum itu kami dikumpulkan dulu di
lapangan untuk dibagikan bantuan dana bos, rasanya kami semua senang.
*
* *
Dari
teras rumah, aku bisa melihat Arin yanh sedang asyik bermain dengan sepupunya
dengan boneka mereka masing-masing. Awalnya aku ingin ikut, tapi malu karena
boneka beruangku yang aku dapat ketika usia tiga tahun itu sudah sangt usang
dan kotor. Saat-saat seperti ini
aku rasanya ingin menjadi seperti Nobita yang punya Doraemon untuk mengabulkan
segala keinginannya, jika Doraemon memang ada dan menemaniku tentu saja keinginan
pertamaku adalah melenyapkan Adam. Aku benar-benar tidak suma denga dia,
apalagi ketika pulang sekolah tadi, dia sengaja menarik tasku kebelakang hingga
aku ikut tertarik kebelakang juga dan nyaris terjatuh kalau saja pertahananku
tidak kuat.
Jika
aku punya Doraemon juga, aku ingin meminta banyak mainan, aku juga ingin
meminta banyak makanan dan terutama es krim yang terlihat menggiurkan di tv-tv.
Saat aku meminta pada Emak untuk beli es krim pasti Emak selalu menolak dengan
alasan takut aku sakit, padahal alasan sebenarnya pasti supaya mengirit
pengeluaran. Selanjutnya jika aku punya Doraemon, aku juga ingin agar Doraemon
memberi alat agar kedua saudaraku berhenti merepotkan orang tua ku, mereka
selalu saja meminta uang untuk banyak pembayaran di sekolah. Karena mereka, aku
harus sadar diri untuk tidak membeli mainan ketika ada penjual mainan yang
berjualan saat ada acara Pengantin.
"Nun,
mau buah Pir nggak? Tadi ada sisa dua." aku dikagetkan
dengan Bapak yang tiba-tiba sudah ada dibelakangku, beliau terlihat lelah tapi
tetap tersenyum. "Bapak kapan pulang? Kok Nun nggak sadar?" Beliau
tersenyum dan mengusap kepalaku, "barusan sampai, Nun melamun ya? Liat apa
sih?" beliau ikut-ikutan arah pandangku ke teras rumah Arin, lalu kembali
menepuk bahuku, "Nun kenapa nggak ikut main sama Arin?" tanyanya. Aku hanya menggeleng
dan menunduk, Bapak sedikit menjongkok agar wajhnya sejajar dengan wajahku,
"kalau untung jualan buah nanti lumayan banyak, Nun boleh beli boneka kok.
Kita beli di Pasar ya? Sekarang ayo mandi, setelah itu siap-siap untuk ngaji
malam."
Mendengar
hal itu aku langsung tersenyum dan bersorak bahagia, "tapi sebelum itu,
boleh nggak Nun minta dua buah Pirnya, satu untuk Nun, satu untuk Arin?"
Bapak mengangguk dan menepuk bahuku, "selalu berbagi ya nak, Allah pasti
kasih rezeki." itu adalah kalimat yang selalu bapak ucapkan, tidak perduli
dalam keadaan apapun. Setelah mandi dan bersiap-siap untuk ngaji malam, aku ke
rumah Arin. Kebetulan sepupunya sudah pergi.
"Aaariiin!"
panggilku dengan suara bernada khas.Lalu dari arah ruang tengah terdengar
langkah kaki yang berlarian. "Nun, ayo masuk! Arin lagi makan sama nonton
kartun." ajaknya langsung menyeret tanganku untuk ikut menonton."Nun
punya buah Pir untuk Arin. Nih!" aku menyerahkan buah warna kuning itu ke
tangan Arin, dia terlihat senang karena aku tahu dia juga suka buah.
"Yaudah kalau gitu ayo makan, ayam kentakynya kita bagi dua."
ujarnya, awalnya aku merasa tidak enak tapi setelah ada kakaknya yang juga
menyuruhku makan, jadilah kami makan bersama.
*
* *
Aku
tidak tahu kenapa teman-teman menertawaknku saat aku keluar kelas untuk
istirahat, dari gerombolan pojok kelas juga tampak Adam dan gengnya tertawa
paling keras. Pasti ada yang tidak beres. "Nun tunggu, ini!" kata salah
satu teman sekelasku, namanya Dila, dia menarik sesuatu dari belakangku lalu
menyerahkan kertas yang tertempel di seragam belakangku. Di kertas itu tertulis:
'Aku pengen beli mainan, tapi aku tidak punya uang.' Hal itu langsung membuatku
murka
dan langsung menuju tempat Adam dan gengnya, memangnya siapa lagi
kalau bukan mereka pelakunya? Musuhku di kelas ini juga hanya mereka saja.
"Nun
punya salah apa sih sama Adam?" tanyaku setelah berdiri didepannya dengan
kedua tangan di pinggang. "Karena Nun enak diganggu, karena Nun temanan
sama Arin, kan kalian beda jauh jadi Nun enak diganggu."
balasnya."Bilang saja iri karena tidak bisa punya teman yang baik!"
kataku tak kalah memukul telak mentalnya. "Tapi aku mampu beli mainan, kami
mampu beli mainan, Nun enggak hahaha." Setelahnya
aku menendang kursi yang ada di depannya hingga
terjatuh, rasanya emosi ku akan pecah kalau-kalau tetap meladeni manusia
setengah bukan manusia seperti dia. Arin tidak masuk hari
ini, katanya dia ada acara keluarga jadinya aku harus tahan banting sendirian.
*
* *
Keesokan harinya, aku juga harus berani sendirian
karena Arin katanya izin hingga tiga hari kedepan. Jadilah yang duduk denganku
adalah Dila, katanya dia malas kalau duduk sendirian. "Nun udah belum
pr MTK? Aku boleh lihat nggak yang nomor tiga sama lima?" "Boleh,
tunggu ya." jawabku, lalu menyerahkan buku pr yang aku kerjakan tadi malam
kepadanya.Sepuluh menit kemudian wali kelas kami datang, kami disuruh
mengumpulkan buku pr. Sembari menunggu Ibu guru memeriksa tugas kami, kami semua
disuruh menghapal perkalian 5 dan 6, nanti dipanggil untuk maju.Aku dan Dila
bergantian saling menyimak agar
kami bisa menghapal dengan baik, tapi tentu saja hari-hariku tidak akan lepas
dari gangguan makhluk seperti Adam yang entengnya melempari kertas-kertas yang
sudah dirobek kecil-kecil dan dopelintir hingga menjadi butiran hulat kecil,
dia melempar itu silih berganti ke arahku. Dari pada tenaga habis meladeninya
mending aku biarkan saja, toh nanti juga dia bosan sendiri.
Tak
terasa setengah jam berlalu hingga akhirnya wali kelas berdiri di depan papan
tulis. "Adam, kamu buat pr secara niat atau tidak? Kenapa bisa dapat
nol?" "Hahahahaha." Seisi kelas
menertawakannya, tentu saja termasuk aku. Siapa yang tidak merasa bahagia
ketika musuhnya dipermalukan?
"Harusnya
kamu contoh Nun, dia dapat 100,
benar semua. Nanti minta ajarkan sama Nun ya caranya bagaimana." ujar Ibu
guru. Dalam
hati tentu saja aku merasa dongkol.
*
* *
Jam istirahat adalah waktu paling aku tunggu hari
ini, karena aku dibekali telur dadar sama
nasi kecap oleh Emak. Jarang-jarang seperti ini, apalagi tadi pagi aku belum
sempat makan jadi melihat makanannya langsung lapar dan menggugah selera
rasanya. Setengah porsi hampir selesai kalau saja si manusia memyebalkan
bernama Adam tidak menumpahkan plastik es Marimas ke bekalku. Melihat
itu aku langsung berdiri dan menuangkan semua
air yang ada dalam botol minumku ke arahnya hingga dia basah. Aku sangat emosi,
lebih-lebih emosinya. Dia sepertinya tidak
terima karena setelahnya dia mendorongku hingga terduduk ke bangku. Jika
bertengkar dengan Adam tentu saja kekuatanku akan kalah dengan kekuatan yang
dia miliki, maka dari itu saat tangannya mengarah ingin mencekikku, aku lebih
dulu memilih untuk menggigit tangannya lalu menginjak kakinya. Iya,
hanya itu yang bisa aku lakukan sebagai bentuk pertahanan diri.
Tapi,
dia tetap kuat dan menarikku hingga terjatuh ke lantai dengan lutut yang
menahan tubuhku, aku merasa ada yang perih di area lututku. Dan benar saja saat
dilihat ada luka yang segar disana. Kelas kami sudah dipenuhi anak-anak yang bertepuk tangan
menyksikan pertengkaran kami, mereka hanya bersorak tanpa niat membantu.
Sebelum akhirnya wali kelas kami masuk ke kelas dan langsung memapah aku yang
memang terasa lemas, kami di iringi ke ruang kepala sekolah.
*
* *
Dari
sekolah tadi bahkan setelah
perjalanan menuju rumah, Bapak
sama sekali tidak bersuara. Yang ada hanya omelan suara Emak yang memarahiku
mengapa bisa sampai beetengkar seperti tadi. Tadi
setelah kami berada di ruang kepala sekolah, kedua orang tua kami dipanggil.
Bapak banyak diamnya tadi dan hanya menyimak penuturan dari aku dan Adam
perihal perkelahian kami. Meskipun pertengkaran tadi berakhir damai tapi ada
sebuah keputusan, yaitu Adam dipindahkan ke kelas sebelah. Karena
setelah memanggil beberapa anak kelas kami untuk menjadi saksi, mereka semua
kompak menjawab kalau aku sering diusili. Jadilah Adam dipindahkan sebagai
jalan tengahnya. "Lain
kali jangan sok jagoan begitu, masa berantem sama cowok." omel Emak lagi,
tapi tetap saja dia mengobati luka di lututku.
"Bapak,
kok diam aja? Maafin Nun ya, Nun janji nggak akan berantem lagi." ujarku
menatap sendu ke arah Bapak yang sedari tadi hanya menjadi saksi omelan Emak
dan ringisanku ketika obat merah dituang ke area lukaku. Bapak menggeleng lalu
memelukku, aku kaget. Ini adalah kali pertama Bapak memelukku setelah sekian lama, bahkan aku lupa kapan
terakhir kali dipeluk Bapak, karena kami bukan pasangan anak dan ayah yang
romantis."Bapak bangga sama Nun, setidaknya Nun punya pembelaan diri
bahkan terus bersabar ketika diganggu, bapak sadar sabarnya orang pasti ada batasnya,
dan tadi Nun kehabisan batas jadi maklum kalau Nun marah." jelas beliau,
aku langsung menangis karena terharu akan ucapan Bapak. Sementara
Emak terlihat berhenti beraktivitas dan menyaksikan kami berdua sebelum
akhirnya ikut dalam acara peluk-pelukan ini.
*
* *
Hari
ini Arin sudah masuk, dan aku tetap
bersemangat sekolah meskipun kedua lutut harus dibalut dengan hansaplast. Dia
terlihat antusias mendengar kronologi pertengkaranku dengan Adam, bahkan juga
merasa gerah dengan perlakuan Adam yang menurutnya kali ini keterlaluan. Ketika
kami keluar kelas, aku dapat melihat Adam melihat ke arah kami berdua yang
sedang tertawa bahagia, setelahnya dia pergi begitu saja. Biarkan saja dia dan
waktunya untuk berpikir, suatu saat dia juga akan sadar dan mengambil pelajaran
dari sikapnya. Apalagi dia bersikap begitu dengan alasan kalau dia iseng-iseng
saja mengganggu dan mengusiliku, katanya aku enak diusili. Dan
hari ini, aku baru bersyukur. Meskipun orang tua ku tidak berlebih dalam hal
material, tapi mereka mendidikku dengan baik dalam hal sikap. Bahkan mereka
tetap mensupport dan menguatkanku agar tetap kuat dan tahan banting.
*
* *
The
End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar