Halaman

Selasa, 08 Oktober 2019

Cerpen Masa SD “ Merah Putih Dan Kisah Nya “


Nama: siti mulkisyah
Nim: A1D118110
Ruang:R004
Tugas:menulis cerita anak
Tokoh dan Penokohan: Nun(tritagonis), Adam (antagonis), Arin (pratagonis),    bapak(protagonist), emak(tritagonis)

Dosen pengampu: Drs.Maryono,S.Pd
  Agung Rimba Kurniawan,S.Pd,M.Pd



Merah Putih Dan Kisah Nya

"Nun.. bangun  nak, lihat matahari sudah bangun. Masa Nun kalah sama matahari?" Sayup-sayup aku mendengar suara lembut perempuan, juga merasakan usapan lembut di bahu sebelah kananku. Dan ketika aku membuka mata, ternyata itu adalah Emak perempuan terhebat yang aku kenal selama 7 tahun aku hidup.
Namaku Siti Mulkisyah, tapi nama panggilanku adalah Nun, memang sangat jauh dan tidak nyambung sama sekali. 'Nun' adalah nama panggilan yang diberikan oleh sahabatku. Omong-omong tentang dia, rasanya ada yang membuat aku malas beranjak dari tempat tidur. "Enggak mau sekolah, malas." Tampak kerutan di dahi Emak, lalu matanya memincing dengan mengamati wajahku. Mungkin beliau sedang menyelidiki sesuatu dari mataku yang biasanya selalu tidak bisa akting atau berpura-pura. Emak selalu mengetahui kalau aku sedang berbohong."Yakin nggak mau sekolah? Katanya hari ini ada pemberian dana bos dari pihak sekolah." Mendengar hal itu tentu saja aku langsung bangkit dan aku kembali bersemangat, seakan tubuhku sudah dicharger 100%. Dana bos adalah kesukaan semua anak-anak SD, karena kami akan diberi buku 1 pcs, beserta pensil, penghapus, dan penggerok pensil. Aku berjalan keluar kamar dengan gembira dan menyandungkan lagu-lagu random yang aku hapal.
* * *


Di sekolah, aku termasuk orang yang tidak mudah bergaul, maksudku aku hanya bisa akrab dengan beberapa orang saja. Selebihnya hanya sekedar kenal, dan aku juga kemana-mana selalu berdua dengan sahabatku, namanya Arin. Dia juga tetanggaku, rumah kami bersebelahan, dia juga teman sebangkuku.  Tapi ada yang beda dari kami, dari sudut pandangku, dia dan aku jelas beda dari segi material. Keluarganya cukup mumpuni, dia tidak akan merasakan makan hanya dengan sambal ikan teri dan kerupuk keplang saja, sementara aku nyaris tiap hari menikmatinya. Ayahku seorang pedagang buah keliling, sementara Emak bekerja upah mingguan di lahan sawit desa tetangga. Aku mempunyai dua saudara, abangku yang masih duduk di bangku SMA begitu pula dengan kakak perempuanku. Ada hal yang membuatku iri pada Arin, dia ketika pulang sekolah selalu disambut dengan baik, makan bersama kedua kakaknya yang sudah menyelesaikan pendidkan, sementara aku, aku harus bisa mandiri untuk makan sendirian sambil menikmati tontonan Kuasa Ilahi yang televisinya penuh titik-titik putih.
"Nun, Arin baru beli kertas binder baru. Gambar Spongebob, bagus kan?" Mataku berbinar melihat kertas itu, disana jelas tergambar kartun favoriteku. Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum, padahal ada rasa ingin memiliki juga. "Ahahaha cie Nun pengen ahahaha." Aku menoleh ke bangku belakang, disana ada anak laki-laki yang sejak pertama masuk kelas sudah aku cap sebagai musuh. Dia sangat suka mengusili, terutama mulutnya itu, suka sekali berkata buruk dan menghina. "Wak Ajis mana bisa beliin itu, cie Nun pengen." Aku langsung berdiri dari tempat, kalau sudah bawa-bawa nama orang tua rasanya tidak ada toleransi. Langsung saja aku gebrak mejanya, biar terlihat kut padahal aslinya tanganku sakit setelah memukul keras meja itu.
"Oy Ali Topo! Nun nggak pengen ya, Nun mampu kok buat beli itu. Dasar gendut!"  "Dasar cungkring, ih badannya nggak ada daging, sup tulang Nun pasti enak." balasnya dengan volume suara yang sangat kuat hingga seisi kelas memperhatikan kami.  "Adam nggak boleh gitu sama Nun, kan tiap orang punya porsi tubuh beda-beda. Kayak Adam yang gendut, sementara Nun kurus. Kalian sama aja kan?"  Meskipun  terkadang aku iri dengan Arin dan kehidupan mewahnya yang bagiku  hanya sekedar imajinasiku, dia adalah orang yang bisa melindungi.  Dengan berkata demikian tentu saja Adam si gendut itu akan terdiam.  Lalu wali kelas kami masuk dan pelajaran hari ini dimulai. Tidak terasa sudah jam 11 siang, itu artinya jam pulang sekolah. Sebelum itu kami dikumpulkan dulu di lapangan untuk dibagikan bantuan dana bos, rasanya kami semua senang.

* * *



Dari teras rumah, aku bisa melihat Arin yanh sedang asyik bermain dengan sepupunya dengan boneka mereka masing-masing. Awalnya aku ingin ikut, tapi malu karena boneka beruangku yang aku dapat ketika usia tiga tahun itu sudah sangt usang dan kotor.  Saat-saat seperti ini aku rasanya ingin menjadi seperti Nobita yang punya Doraemon untuk mengabulkan segala keinginannya, jika Doraemon memang ada dan menemaniku tentu saja keinginan pertamaku adalah melenyapkan Adam. Aku benar-benar tidak suma denga dia, apalagi ketika pulang sekolah tadi, dia sengaja menarik tasku kebelakang hingga aku ikut tertarik kebelakang juga dan nyaris terjatuh kalau saja pertahananku tidak kuat.            
 Jika aku punya Doraemon juga, aku ingin meminta banyak mainan, aku juga ingin meminta banyak makanan dan terutama es krim yang terlihat menggiurkan di tv-tv. Saat aku meminta pada Emak untuk beli es krim pasti Emak selalu menolak dengan alasan takut aku sakit, padahal alasan sebenarnya pasti supaya mengirit pengeluaran. Selanjutnya jika aku punya Doraemon, aku juga ingin agar Doraemon memberi alat agar kedua saudaraku berhenti merepotkan orang tua ku, mereka selalu saja meminta uang untuk banyak pembayaran di sekolah. Karena mereka, aku harus sadar diri untuk tidak membeli mainan ketika ada penjual mainan yang berjualan saat ada acara Pengantin.
"Nun, mau  buah Pir  nggak? Tadi ada sisa dua." aku dikagetkan dengan Bapak yang tiba-tiba sudah ada dibelakangku, beliau terlihat lelah tapi tetap tersenyum. "Bapak kapan pulang? Kok Nun nggak sadar?"  Beliau tersenyum dan mengusap kepalaku, "barusan sampai, Nun melamun ya? Liat apa sih?" beliau ikut-ikutan arah pandangku ke teras rumah Arin, lalu kembali menepuk bahuku, "Nun kenapa nggak ikut main sama Arin?" tanyanya. Aku hanya menggeleng dan menunduk, Bapak sedikit menjongkok agar wajhnya sejajar dengan wajahku, "kalau untung jualan buah nanti lumayan banyak, Nun boleh beli boneka kok. Kita beli di Pasar ya? Sekarang ayo mandi, setelah itu siap-siap untuk ngaji malam."
Mendengar hal itu aku langsung tersenyum dan bersorak bahagia, "tapi sebelum itu, boleh nggak Nun minta dua buah Pirnya, satu untuk Nun, satu untuk Arin?" Bapak mengangguk dan menepuk bahuku, "selalu berbagi ya nak, Allah pasti kasih rezeki." itu adalah kalimat yang selalu bapak ucapkan, tidak perduli dalam keadaan apapun. Setelah mandi dan bersiap-siap untuk ngaji malam, aku ke rumah Arin. Kebetulan sepupunya sudah pergi.
"Aaariiin!" panggilku dengan suara bernada khas.Lalu dari arah ruang tengah terdengar langkah kaki yang berlarian. "Nun, ayo masuk! Arin lagi makan sama nonton kartun." ajaknya langsung menyeret tanganku untuk ikut menonton."Nun punya buah Pir untuk Arin. Nih!" aku menyerahkan buah warna kuning itu ke tangan Arin, dia terlihat senang karena aku tahu dia juga suka buah. "Yaudah kalau gitu ayo makan, ayam kentakynya kita bagi dua." ujarnya, awalnya aku merasa tidak enak tapi setelah ada kakaknya yang juga menyuruhku makan, jadilah kami makan bersama.
* * *
Aku tidak tahu kenapa teman-teman menertawaknku saat aku keluar kelas untuk istirahat, dari gerombolan pojok kelas juga tampak Adam dan gengnya tertawa paling keras. Pasti ada yang tidak beres. "Nun tunggu, ini!" kata salah satu teman sekelasku, namanya Dila, dia menarik sesuatu dari belakangku lalu menyerahkan kertas yang tertempel di seragam belakangku. Di kertas itu tertulis: 'Aku pengen beli mainan, tapi aku tidak punya uang.' Hal itu langsung membuatku  murka dan langsung menuju  tempat Adam dan gengnya, memangnya siapa lagi kalau bukan mereka pelakunya? Musuhku di kelas ini juga hanya mereka saja.
"Nun punya salah apa sih sama Adam?" tanyaku setelah berdiri didepannya dengan kedua tangan di pinggang. "Karena Nun enak diganggu, karena Nun temanan sama Arin, kan kalian beda jauh jadi Nun enak diganggu." balasnya."Bilang saja iri karena tidak bisa punya teman yang baik!" kataku tak kalah memukul telak mentalnya. "Tapi aku mampu beli mainan, kami mampu beli mainan, Nun enggak hahaha."  Setelahnya aku  menendang kursi yang ada di depannya hingga terjatuh, rasanya emosi ku akan pecah kalau-kalau tetap meladeni manusia setengah bukan manusia seperti dia.  Arin tidak masuk hari ini, katanya dia ada acara keluarga jadinya aku harus tahan banting sendirian.
* * *
Keesokan  harinya, aku juga harus berani sendirian karena Arin katanya izin hingga tiga hari kedepan. Jadilah yang duduk denganku adalah Dila, katanya dia malas kalau duduk sendirian. "Nun udah  belum pr MTK? Aku boleh lihat nggak yang nomor tiga sama lima?"  "Boleh, tunggu ya." jawabku, lalu menyerahkan buku pr yang aku kerjakan tadi malam kepadanya.Sepuluh menit kemudian wali kelas kami datang, kami disuruh mengumpulkan buku pr. Sembari menunggu Ibu guru memeriksa tugas kami, kami semua disuruh menghapal perkalian 5 dan 6, nanti dipanggil untuk maju.Aku dan Dila bergantian  saling menyimak agar kami bisa menghapal dengan baik, tapi tentu saja hari-hariku tidak akan lepas dari gangguan makhluk seperti Adam yang entengnya melempari kertas-kertas yang sudah dirobek kecil-kecil dan dopelintir hingga menjadi butiran hulat kecil, dia melempar itu silih berganti ke arahku. Dari pada tenaga habis meladeninya mending aku biarkan saja, toh nanti juga dia bosan sendiri.
Tak terasa setengah jam berlalu hingga akhirnya wali kelas berdiri di depan papan tulis. "Adam, kamu buat pr secara niat atau tidak? Kenapa bisa dapat nol?"  "Hahahahaha." Seisi kelas menertawakannya, tentu saja termasuk aku. Siapa yang tidak merasa bahagia ketika musuhnya dipermalukan? "Harusnya kamu contoh  Nun, dia dapat 100, benar semua. Nanti minta ajarkan sama Nun ya caranya bagaimana." ujar Ibu guru. Dalam hati tentu saja aku merasa dongkol.
* * *


Jam  istirahat adalah waktu paling aku tunggu hari ini, karena aku dibekali telur dadar sama nasi kecap oleh Emak. Jarang-jarang seperti ini, apalagi tadi pagi aku belum sempat makan jadi melihat makanannya langsung lapar dan menggugah selera rasanya. Setengah porsi hampir selesai kalau saja si manusia memyebalkan bernama Adam tidak menumpahkan plastik es Marimas ke bekalku.  Melihat itu aku  langsung  berdiri dan menuangkan  semua air yang ada dalam botol minumku ke arahnya hingga dia basah. Aku sangat emosi, lebih-lebih emosinya.  Dia sepertinya tidak terima karena setelahnya dia mendorongku hingga terduduk ke bangku. Jika bertengkar dengan Adam tentu saja kekuatanku akan kalah dengan kekuatan yang dia miliki, maka dari itu saat tangannya mengarah ingin mencekikku, aku lebih dulu memilih untuk menggigit tangannya lalu menginjak kakinya.  Iya, hanya itu yang bisa aku lakukan sebagai bentuk pertahanan diri.
Tapi, dia tetap  kuat dan  menarikku  hingga terjatuh ke lantai dengan lutut yang menahan tubuhku, aku merasa ada yang perih di area lututku. Dan benar saja saat dilihat ada luka yang segar disana.  Kelas kami sudah  dipenuhi anak-anak yang bertepuk tangan menyksikan pertengkaran kami, mereka hanya bersorak tanpa niat membantu. Sebelum akhirnya wali kelas kami masuk ke kelas dan langsung memapah aku yang memang terasa lemas, kami di iringi ke ruang kepala sekolah.
* * *
Dari  sekolah  tadi bahkan  setelah perjalanan  menuju rumah, Bapak sama sekali tidak bersuara. Yang ada hanya omelan suara Emak yang memarahiku mengapa bisa sampai beetengkar seperti tadi.  Tadi setelah kami berada di ruang kepala sekolah, kedua orang tua kami dipanggil. Bapak banyak diamnya tadi dan hanya menyimak penuturan dari aku dan Adam perihal perkelahian kami. Meskipun pertengkaran tadi berakhir damai tapi ada sebuah keputusan, yaitu Adam dipindahkan ke kelas sebelah.  Karena setelah memanggil beberapa anak kelas kami untuk menjadi saksi, mereka semua kompak menjawab kalau aku sering diusili. Jadilah Adam dipindahkan sebagai jalan tengahnya. "Lain kali jangan sok jagoan begitu, masa berantem sama cowok." omel Emak lagi, tapi tetap saja dia mengobati luka di lututku.
"Bapak, kok diam aja? Maafin Nun ya, Nun janji nggak akan berantem lagi." ujarku menatap sendu ke arah Bapak yang sedari tadi hanya menjadi saksi omelan Emak dan ringisanku ketika obat merah dituang ke area lukaku. Bapak menggeleng lalu memelukku, aku kaget. Ini adalah kali pertama Bapak memelukku  setelah sekian lama, bahkan aku lupa kapan terakhir kali dipeluk Bapak, karena kami bukan pasangan anak dan ayah yang romantis."Bapak bangga sama Nun, setidaknya Nun punya pembelaan diri bahkan terus bersabar ketika diganggu, bapak sadar sabarnya orang pasti ada batasnya, dan tadi Nun kehabisan batas jadi maklum kalau Nun marah." jelas beliau, aku langsung menangis karena terharu akan ucapan Bapak.  Sementara Emak terlihat berhenti beraktivitas dan menyaksikan kami berdua sebelum akhirnya ikut dalam acara peluk-pelukan ini.

* * *
Hari ini Arin sudah  masuk, dan aku tetap bersemangat sekolah meskipun kedua lutut harus dibalut dengan hansaplast. Dia terlihat antusias mendengar kronologi pertengkaranku dengan Adam, bahkan juga merasa gerah dengan perlakuan Adam yang menurutnya kali ini keterlaluan. Ketika kami keluar kelas, aku dapat melihat Adam melihat ke arah kami berdua yang sedang tertawa bahagia, setelahnya dia pergi begitu saja. Biarkan saja dia dan waktunya untuk berpikir, suatu saat dia juga akan sadar dan mengambil pelajaran dari sikapnya. Apalagi dia bersikap begitu dengan alasan kalau dia iseng-iseng saja mengganggu dan mengusiliku, katanya aku enak diusili.  Dan hari ini, aku baru bersyukur. Meskipun orang tua ku tidak berlebih dalam hal material, tapi mereka mendidikku dengan baik dalam hal sikap. Bahkan mereka tetap mensupport dan menguatkanku agar tetap kuat dan tahan banting.
* * *

The End


Tidak ada komentar:

Posting Komentar