Halaman

Selasa, 08 Oktober 2019

Cerpen Masa SD “ Kisahku bukan Kisahmu “


Nama  : Binti Aslikah
Nim     : A1D11038
E-mail : bintiaslikah28@gmail.com

Kisahku bukan Kisahmu
Upacara pengibaran bendera merah putih telah menjadi rutinitas di Sekolah Dasarku. Seusai melaksanakan upacara, di sudut sekolah aku melihat sosok laki-laki dan perempuan yang sedang bertengkar, sebutlah Anggra dan Robert. Sembari langkah ini menghampiri, terdengar tangisan kecil dari kejauhan. Ya, ternyata benar. Anggra sedang  menangis, ia adalah sahabatku. Langkah kakiku semakin cepat. Tanpa kusadari, tangan kananku menampar pipi Robert,“berani nian kau dengan kawan awak, sampai nangis kau buat. Kalo berani lawan awak, jangan cemen nian jadi anak jantan” tegasku. “Berani sekali kamu dengan sahabat saya, sampai kamu buat nangis. Kalau berani lawan saya, jangan jadi cowok pengecut.” tegasku. Robert langsung meninggalkan tempat tanpa mengatakan sepatah katapun, kubiarkan ia pergi. Sembari menenangkan Anggra, aku menyampaikan sebuah berita bahwasannya aku akan meninggalkan dia. “Minggu depan, awak pindah sekolah. Kau jago diri elok-elok, kalo diganggu bentuk tadi yo lawan, jangan diam bae. Awak besok lah dak disiko lagi, jadi dak biso bantu kau lagi” kataku. “Minggu depan, aku pindah sekolah. Kamu jaga diri baik-baik,kalau diganggu seperti tadi ya lawan, jangan diam aja. Aku besok sudah tidak disini lagi, jadi tidak bisa bantu kamu lagi”.
Senin itu, merupakan hari terakhir aku menuntut ilmu disana. Entah rasa apa yang ada saat itu,seolah-olah ini semua hanya mimpi. Tapi ya inilah kehidupan, tidak dapat ditebak alur ceritanya. Aku sekeluarga pindah ke sebuah desa di Rimbo Bujang. Rumah baru belum siap, jadi kami tidur dirumah paman, kakak laki-laki ibuku. Selama satu minggu, aku menjadi pengangguran, duduk diam di dalam rumah, angap saja aku sedang galau Hehe. Tidak hanya rumah, sekolahku juga pindah namun bukan SD melainkan MI atau Madrasah Ibtidaiyah. Sembari ayah mengurus surat pindah, aku berusaha mencari teman di sekitar rumah baruku. Beradaptasi emang sulit, bagi orang-orang yang tidak mau membuka dirinya untuk orang baru. Aku sekali keluar rumah langsung ketemu kawan hehe engga deng canda doang. Kenalkan teman baruku namanya Devri. Tinggi badannya ya  tinggian aku sebenernya haha. Baik, Eh sifatnya sebelas duabelas dengan Anggra. Devri merupakan orang Jawa, logatnya sudah medok (mendarahdaging)  di dalam dirinya hehe. Jadi, kalau sudah ngobrol sama dia pengen ketawa teruss, karena aku kan tidak bisa menggunakan bahasa jawa, jadi mau tidak mau dia harus menggunakan bahasa Indonesia.
Minggu kedua, rumah baru sudah siap. Alhamdulillah, siap juga pendaftaran di sekolah baru. Kamis, hari pertama aku berangkat menuju Madrasah Ibtidaiyah. Jarak sekolah dan rumahku sangat dekat, jalan belum aspal masih berbentuk tanah berwarna merah. Semalam hari hujan, jalan itu sudah seperti lumpur. Jadi masyarakat disanapun tidak berani menghantar anaknya kesekolah menggunakan motor. Terpaksa saya jalan kaki, dengan sepatu di tenteng, dan kaki di bungkus menggunakan plastic atau asoi. Sampai di depan gerbang, aku syok berat. Aku sangat berbeda dengan mereka. Namanya saja Madrasah, sudah jelas  didalamnya banyak ajaran mengenai agama.  Awalnya aku tidak menyukai ini, karna ini bukan style aku. Kenapa ? Aku yang biasanya menggunakan rok mini, baju  pendek,  rambut ikat dua, tingkahlaku seperti preman. Tiba-tiba lingkungan sekolahku yang baru, berbanding terbalik 360 derajat. Jiwa premanku menciut. Huhu
Eiitttsss, jangan khawatir, didalam kelas itu aku sudah ada teman, ya Devri hehe.  jiwa percaya diriku masih ada sedikit, walaupun aku berbeda dengan mereka. Padahal hari itu, awal dari pembullyan yang terjadi kepadaku. Oke hari berikutnyaa, masih sama aku belum punya seragam sekolah seperti mereka, potongan rambutku pendek, hari itu aku tidak mengikat rambut. Jadi, ya bisa dikatakan seperti anak laki-laki. Sejak  hari itu, aku di bully, “ woi anak baru, ngopo pindah merene, rono lo sekolah neng ndalan wae” teriaknya. “woi anak baru, kenapa piindah kesini, sana loh sekolah di jalan aja”. Teriaknya. Mereka memanggilku dengan sebutan “budak dusun”, “preman dusun”, mungkin karna penampilanku yang seperti anak dusun. Tapi, menurutku penampilan seperti itu memang ada ketentuannya disetiap sekolah. Aku tidak pernah menceritakan hal ini kepada orangtuaku termasuk Devri, aku takut mereka ikut sedih.
Hari sabtu merupakan hari ketiga aku sekolah disana. Aku takut kejadian dua hari sebelumnya terjadi lagi. Hari itu aku putuskan untuk menggunnakan pakaian muslim dan mengggunakan jilbab. Dengan rasa takut, aku masuk lebih awal dari yang lainnya agar tidak ketahuan tapi ya ujung-ujungnya ketahuan juga. Paling tidak aku sudah berusaha untuk menghindar. Yah, pembulian tidak dapat erhindarkan. Apalagi geng cewe-cewe rumpi sudah tidak asing lagi di kalangan anak sekolah dasar. Sudah menjadi hal yang lumrah. Aku  hanya diam saja,  masih aku pantau orang-orang yang bulli aku, belum aku lawan. Aku masih menghargai Devri, aku tidak mau dia kecewa dengan tingkahlaku yang buruk ini. Padahal aku sudah tidak tahan, selama masuk sekolah mereka selalu bulli, dan bersikap baik jika ada guru dan Devri. Sudah kayak film anak tiri aja ini. Huhuhu
            Puncaknya hari ke empat, hari Senin. geng tersebut sedang piket kelas diluar. Ada yang nyapu, ngepel, dan nyiram bunga. Aku dengan santainya, masuk  melewati area yang sudah dipel. Tangkai pel  itu langsung dilempar ke arahku. “woi, reti dipel ora, malah di pidek-pidek” teriaknya.  “woi, tau dipel tidak,, malah di injak-injak” teriaknya. Dengan polosnya karena aku tidak tahu mereka ngomong apa, aku nyelonong aja masuk ke dalam kelas. Tiba-tiba geng tersebut menghampiiriku, dan teriak-teriak di depan wajahku dengan membawa sapu pel. Aku masih diam, sembari menahan air mata. Mereka masih saja teriak di depanku. Geramm, kurebut sapu pelnya dan langsung kupatahkan. Bertengkarlah kami. Tidak lama kemudian datanglah teman-teman yang lain dan termasuk Devri. Dengan airmata yang berderai, aku ceritakan semua kejadian selama aku masuk sekolah sampai puncaknya hari ini aku yang selalu di buli.
Devri tidak terima atas perilaku mereka kepadaku. Namun, dia tidak mau memperpanjang masalah ini, akhirnya ia hanya menasehati mereka, dan menasehatiku juga. Dan akhirnya mereka mau mengakui kesalahan mereka, dan meminta maaf kepadaku. Hari-hari selanjutnya berjalan normal, namun panggilan “budak dusun” dann “preman dusun” masih melekat pada diriku, dan aku tidak mempermasalahkan hal itu lagi. Ternyata tak kenal maka tak saying, jangan pernah melihat seseorang dari luarnya ya.. jangan merasa rendah bila direndahkan.J





Tidak ada komentar:

Posting Komentar