Nim : A1D11038
E-mail : bintiaslikah28@gmail.com
Kisahku
bukan Kisahmu
Upacara
pengibaran bendera merah putih telah menjadi rutinitas di Sekolah Dasarku.
Seusai melaksanakan upacara, di sudut sekolah aku melihat sosok laki-laki dan
perempuan yang sedang bertengkar, sebutlah Anggra dan Robert. Sembari langkah
ini menghampiri, terdengar tangisan kecil dari kejauhan. Ya, ternyata benar. Anggra
sedang menangis, ia adalah sahabatku. Langkah
kakiku semakin cepat. Tanpa kusadari, tangan kananku menampar pipi Robert,“berani
nian kau dengan kawan awak, sampai nangis kau buat. Kalo berani lawan awak,
jangan cemen nian jadi anak jantan” tegasku. “Berani sekali kamu dengan sahabat saya, sampai kamu buat nangis. Kalau
berani lawan saya, jangan jadi cowok pengecut.” tegasku. Robert langsung
meninggalkan tempat tanpa mengatakan sepatah katapun, kubiarkan ia pergi.
Sembari menenangkan Anggra, aku menyampaikan sebuah berita bahwasannya aku akan
meninggalkan dia. “Minggu depan, awak pindah sekolah. Kau jago diri elok-elok,
kalo diganggu bentuk tadi yo lawan, jangan diam bae. Awak besok lah dak disiko
lagi, jadi dak biso bantu kau lagi” kataku. “Minggu depan, aku pindah sekolah. Kamu jaga diri baik-baik,kalau
diganggu seperti tadi ya lawan, jangan diam aja. Aku besok sudah tidak disini
lagi, jadi tidak bisa bantu kamu lagi”.
Senin
itu, merupakan hari terakhir aku menuntut ilmu disana. Entah rasa apa yang ada
saat itu,seolah-olah ini semua hanya mimpi. Tapi ya inilah kehidupan, tidak
dapat ditebak alur ceritanya. Aku sekeluarga pindah ke sebuah desa di Rimbo
Bujang. Rumah baru belum siap, jadi kami tidur dirumah paman, kakak laki-laki
ibuku. Selama satu minggu, aku menjadi pengangguran, duduk diam di dalam rumah,
angap saja aku sedang galau Hehe. Tidak
hanya rumah, sekolahku juga pindah namun bukan SD melainkan MI atau Madrasah
Ibtidaiyah. Sembari ayah mengurus surat pindah, aku berusaha mencari teman di
sekitar rumah baruku. Beradaptasi emang sulit, bagi orang-orang yang tidak mau
membuka dirinya untuk orang baru. Aku sekali keluar rumah langsung ketemu kawan
hehe engga deng canda doang. Kenalkan
teman baruku namanya Devri. Tinggi badannya ya
tinggian aku sebenernya haha.
Baik, Eh sifatnya sebelas duabelas dengan Anggra. Devri merupakan orang Jawa,
logatnya sudah medok (mendarahdaging) di
dalam dirinya hehe. Jadi, kalau sudah
ngobrol sama dia pengen ketawa teruss, karena aku kan tidak bisa menggunakan
bahasa jawa, jadi mau tidak mau dia harus menggunakan bahasa Indonesia.
Minggu
kedua, rumah baru sudah siap. Alhamdulillah, siap juga pendaftaran di sekolah
baru. Kamis, hari pertama aku berangkat menuju Madrasah Ibtidaiyah. Jarak
sekolah dan rumahku sangat dekat, jalan belum aspal masih berbentuk tanah
berwarna merah. Semalam hari hujan, jalan itu sudah seperti lumpur. Jadi masyarakat
disanapun tidak berani menghantar anaknya kesekolah menggunakan motor. Terpaksa
saya jalan kaki, dengan sepatu di tenteng, dan kaki di bungkus menggunakan
plastic atau asoi. Sampai di depan gerbang, aku syok berat. Aku sangat berbeda
dengan mereka. Namanya saja Madrasah, sudah jelas didalamnya banyak ajaran mengenai agama. Awalnya aku tidak menyukai ini, karna ini
bukan style aku. Kenapa ? Aku yang biasanya menggunakan rok mini, baju pendek,
rambut ikat dua, tingkahlaku seperti preman. Tiba-tiba lingkungan
sekolahku yang baru, berbanding terbalik 360 derajat. Jiwa premanku menciut. Huhu
Eiitttsss,
jangan khawatir, didalam kelas itu aku sudah ada teman, ya Devri hehe. jiwa percaya diriku masih ada sedikit,
walaupun aku berbeda dengan mereka. Padahal hari itu, awal dari pembullyan yang
terjadi kepadaku. Oke hari berikutnyaa, masih sama aku belum punya seragam
sekolah seperti mereka, potongan rambutku pendek, hari itu aku tidak mengikat
rambut. Jadi, ya bisa dikatakan seperti anak laki-laki. Sejak hari itu, aku di bully, “ woi anak baru,
ngopo pindah merene, rono lo sekolah neng ndalan wae” teriaknya. “woi anak baru, kenapa piindah kesini, sana
loh sekolah di jalan aja”. Teriaknya. Mereka memanggilku dengan sebutan
“budak dusun”, “preman dusun”, mungkin karna penampilanku yang seperti anak
dusun. Tapi, menurutku penampilan seperti itu memang ada ketentuannya disetiap
sekolah. Aku tidak pernah menceritakan hal ini kepada orangtuaku termasuk
Devri, aku takut mereka ikut sedih.
Hari
sabtu merupakan hari ketiga aku sekolah disana. Aku takut kejadian dua hari
sebelumnya terjadi lagi. Hari itu aku putuskan untuk menggunnakan pakaian
muslim dan mengggunakan jilbab. Dengan rasa takut, aku masuk lebih awal dari
yang lainnya agar tidak ketahuan tapi ya ujung-ujungnya ketahuan juga. Paling
tidak aku sudah berusaha untuk menghindar. Yah, pembulian tidak dapat
erhindarkan. Apalagi geng cewe-cewe rumpi sudah tidak asing lagi di kalangan
anak sekolah dasar. Sudah menjadi hal yang lumrah. Aku hanya diam saja, masih aku pantau orang-orang yang bulli aku,
belum aku lawan. Aku masih menghargai Devri, aku tidak mau dia kecewa dengan
tingkahlaku yang buruk ini. Padahal aku sudah tidak tahan, selama masuk sekolah
mereka selalu bulli, dan bersikap baik jika ada guru dan Devri. Sudah kayak
film anak tiri aja ini. Huhuhu
Puncaknya hari
ke empat, hari Senin. geng tersebut sedang piket kelas diluar. Ada yang nyapu,
ngepel, dan nyiram bunga. Aku dengan santainya, masuk melewati area yang sudah dipel. Tangkai pel itu langsung dilempar ke arahku. “woi, reti
dipel ora, malah di pidek-pidek” teriaknya.
“woi, tau dipel tidak,, malah di injak-injak” teriaknya. Dengan polosnya
karena aku tidak tahu mereka ngomong apa, aku nyelonong aja masuk ke dalam
kelas. Tiba-tiba geng tersebut menghampiiriku, dan teriak-teriak di depan wajahku
dengan membawa sapu pel. Aku masih diam, sembari menahan air mata. Mereka masih
saja teriak di depanku. Geramm, kurebut sapu pelnya dan langsung kupatahkan.
Bertengkarlah kami. Tidak lama kemudian datanglah teman-teman yang lain dan
termasuk Devri. Dengan airmata yang berderai, aku ceritakan semua kejadian
selama aku masuk sekolah sampai puncaknya hari ini aku yang selalu di buli.
Devri
tidak terima atas perilaku mereka kepadaku. Namun, dia tidak mau memperpanjang
masalah ini, akhirnya ia hanya menasehati mereka, dan menasehatiku juga. Dan
akhirnya mereka mau mengakui kesalahan mereka, dan meminta maaf kepadaku.
Hari-hari selanjutnya berjalan normal, namun panggilan “budak dusun” dann
“preman dusun” masih melekat pada diriku, dan aku tidak mempermasalahkan hal
itu lagi. Ternyata tak kenal maka tak saying, jangan pernah melihat seseorang
dari luarnya ya.. jangan merasa rendah
bila direndahkan.J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar